Jumat, 28 Desember 2007

SAYA RINDU GIGI LIMA


Sebelum Anda mengerutkan dahi, saya jelaskan dulu fungsi gigi lima di mobil bertransmisi manual. Gigi lima bertugas menurunkan torsi mesin untuk menaikkan kecepatan. Karena pada saat kecepatan tinggi, mesin mobil tak lagi butuh torsi besar. Fungsinya sama dengan overdrive (OD) di transmisi matik. Artinya, jika jalanan lengang, tugas gigi lima/OD jadi lumayan dominan.

Sayangnya, beberapa bulan terakhir ini, perjumpaan saya dengan gigi lima sudah mulai jarang. Sungguh, saya rindu gigi lima. Ke manakah perginya ‘beliau’? Entahlah, kalau saya intip tuas persneling, masih ada kok...

Boleh dibilang, ini curahan hati saya yang paling dalam. Hubungannya tentu ke kondisi lalu lintas kita yang semakin amburadul. Saya tak lagi bilang semerawut, tapi sekali lagi saya mau menegaskan; amburadul!

Kata-kata amburadul keluar begitu melihat kondisi lalu lintas kita. Bahkan saya memberi nama baru buat hukum di jalan raya kita ini, yakni hukum relatif. Kenapa? Ya karena masing-masing pengemudi atau pengendara motor punya aturan sendiri-sendiri. Misalnya, menurut saya berhenti di situ enggak boleh, tapi kata pengemudi lain boleh. Atau menurut saya ada rambu S coret berarti dilarang berhenti tapi tukang parkir bilang, “Boleh kok parkir.” Dan hebatnya, pemilik mobil menurut saja sama mister aba-aba tersebut. Yah mau parkir di mana lagi? Itulah, karena bikin usaha sekarang enggak usah mikirin tempat parkir. Dikasih izin kok!

Mau contoh lain? Ah enggak usah ya. Mending coba berhenti dulu membacanya. Maksudnya inget-inget saja sendiri keamburadulan jalan raya kita.

Efek dari hukum relatif ini, timbullah sendatan arus di mana-mana. Bayangkan jalan yang tadinya tiga lajur sekarang menjadi dua atau satu lajur. Maklum terpotong mobil parkir yang lagi makan siang plus termakan bus way. Lampu merah yang harusnya berhenti, malah diterobos terus, tanpa dikejar polisi. Mikrolet, Metro Mini atau apapun lah namanya boleh ngetem/berhenti di mana pun mereka suka. Hari ini diusir, besok ngetem lagi. Karena enggak dilarang-dilarang akhirnya mereka berfikir dibolehkan. Efeknya, lahirlah antrean panjang tak berujung dan terkesan macet abadi.

Akibatnya, stres pengemudi dan penumpang makin tinggi. Sumpah serapah, ngotot-ngototan, sodok kiri, sodok kanan hingga berkelahi di jalan, jadi pemandangan biasa. Gilanya, saat ini sirene ambulans atau pemadam kebakaran pun sudah tak digubris. Yah sulit juga kali ya, mau minggir ke mana bang? Wong maju saja sulit. Yah berdoa saja..

Salah siapakah ini? Polisi, Dep hub, para pedagang mobil, wartawan atau pengendara/pengemudi? Bagaimana kabarnya lalu lintas kita 10 tahun ke depan? Mmmmm.....

Upaya pemerintah daerah khususnya DKI Jakarta, dengan pengadaan Trans Jakarta, menurut saya juga bukan sebuah solusi jitu. Harusnya ada solusi lain yang juga harus dipikirkan secara paralel dengan pembangunan proyek tersebut dan bahkan jauh lebih inti.

Saat ini adalah bagaimana caranya kita menyamakan frame berfikir yang sama dalam berlalu-lintas. Karena sekarang yang terjadi adalah ketidaksamaan frame pengemudi. Akibatnya timbullah apa yang tadi saya bilang hukum relatif atau hukum yang berangkat dari hati masing-masing pengendara/pengemudi.

Sulitkah menyamakan frame ini? Ya pastilah. Tapi kalau enggak dimulai dari sekarang, kapan lagi? Caranya? Yah, bapak-bapak yang berwenang pasti lebih mengerti dari saya. Kalu saya kan berfikirnya sederhana, gunting saja SIM yang menerobos lampu lalu-lintas atau berhenti seenak udelnya.

Cerita di atas itulah yang tiba-tiba menimbulkan rasa rindu saya terhadap gigi lima. Karena gigi terakhir di mobil saya itu sudah jarang terpakai. Baru mau mengoper, saya harus mengerem lagi. Mau tak mau, biaya bensin mobil saya meningkat. Itulah, kenapa akhirnya saya mengganti ‘kaki harian’ dengan yang bertransmisi matik. Minimal saya enggak lagi mikirin gigi lima. Begitulah...

Tidak ada komentar: