Sabtu, 29 Desember 2007

BANJIR DATANG MOBIL TAK BERKUTIK


Mengapa mobil ‘takut’ sama banjir? Lihat saja, begitu jutaan liter air menyerbu Jakarta, semua tak berkutik menghadapinya.

Yang perlu dipahami, mobil yang kita kendarai sehari-hari memang bukan untuk keadaan alam ekstrem. Mobil dibuat hanya untuk kondisi normal dan mengutamakan kenyamanan. Jadi bukan sebuah special vehicle. Tak salah jika mengalami kondisi ekstrem seperti banjir baru-baru ini, semuanya seperti tak punya fungsi.

Lalu apa yang ditakuti jika menerjang genangan air? Pastinya banyak kerugian yang harus diterima, baik ketika menerjang maupun hanya terendam.

Kerusakan yang paling dekat adalah mesin tiba-tiba mati di tengah atau setelah melewati genangan. Tak berfungsinya dapur pacu ini, lantaran berbagai sebab. Misal, sistem pengapian di mesin terkontaminasi air atau air tersedot ke dalam mesin melalui air intake.

Cara penyebaran air di mesin juga beragam cara. Pertama, bisa dikarenakan permukaan air melebihi ketinggian mesin. Kedua, walaupun tidak tinggi namun gelombang air yang diterima mampu mencapai perangkat sensitif di mesin. Berikutnya, semburan dari kipas mesin. Maksudnya, walau air cukup rendah, namun ketika permukaannya mengenai kipas, otomatis air tersembur ke ruang dapur pacu dan membasahi perangkat2 sensitif.

Jika kita melihat mobil spesifikasi off-road, banyak hal yang sudah dimodifikasi. Misalnya, ada tambahan snorkel untuk menghindari air masuk ke air intake. Kabel-kabel pengapian pun biasanya dilindungi lagi dengan sealant untuk menutup rongga agar air tak menyusup ke dalam pengapian.

Belum lagi banyak yang mengubah electric fan dengan switch ON-OFF sendiri. Fungsinya, ketika melewati genangan, kipas listrik bisa dimatikan. Jadi kipas ini tak menyemburkan air ke mesin ketika harus melewati genangan tinggi. Sistem pengapian pun akan lebih aman. Makanya, banyak mobil off-road aman-aman saja melewati genangan tinggi.

Itu baru mesin. Belum lagi kerusakan yang diterima komponen lain, semisal girboks baik manual atau matik dan gardan. Perangkat ini mudah sekali tersusup air lantaran selain memiliki slang pernafasan juga letaknya paling rendah di sebuah kendaraan. Otomatis, komponen-komponen itulah yang pertama kali tersusup air.

Bodi pun terkena imbasnya. Rembesan air yang masuk ke interior jika didiamkan akan membawa penyakit nantinya. Selain bau dan berjamur, jika penanganannya tak maksimal, suatu hari karat akan lebih cepat menghinggap.

Nah, walaupun Anda berhasil melewati genangan air tinggi tanpa mogok, segera periksa kondisi kendaraan sesegera mungkin. Misal cek semua pelumas yang ada di kendaraan. Biasanya air meyusup melalui celah di mesin atau melalu slang breather, baik di mesin, girboks maupun di gardan.

Amati, jika pelumas berubah warna menjadi coklat muda, berbusa dan cenderung putih, segera ganti. Jangan lupa ganti pula filter oli yang ada.

Jumat, 28 Desember 2007

SAYA RINDU GIGI LIMA


Sebelum Anda mengerutkan dahi, saya jelaskan dulu fungsi gigi lima di mobil bertransmisi manual. Gigi lima bertugas menurunkan torsi mesin untuk menaikkan kecepatan. Karena pada saat kecepatan tinggi, mesin mobil tak lagi butuh torsi besar. Fungsinya sama dengan overdrive (OD) di transmisi matik. Artinya, jika jalanan lengang, tugas gigi lima/OD jadi lumayan dominan.

Sayangnya, beberapa bulan terakhir ini, perjumpaan saya dengan gigi lima sudah mulai jarang. Sungguh, saya rindu gigi lima. Ke manakah perginya ‘beliau’? Entahlah, kalau saya intip tuas persneling, masih ada kok...

Boleh dibilang, ini curahan hati saya yang paling dalam. Hubungannya tentu ke kondisi lalu lintas kita yang semakin amburadul. Saya tak lagi bilang semerawut, tapi sekali lagi saya mau menegaskan; amburadul!

Kata-kata amburadul keluar begitu melihat kondisi lalu lintas kita. Bahkan saya memberi nama baru buat hukum di jalan raya kita ini, yakni hukum relatif. Kenapa? Ya karena masing-masing pengemudi atau pengendara motor punya aturan sendiri-sendiri. Misalnya, menurut saya berhenti di situ enggak boleh, tapi kata pengemudi lain boleh. Atau menurut saya ada rambu S coret berarti dilarang berhenti tapi tukang parkir bilang, “Boleh kok parkir.” Dan hebatnya, pemilik mobil menurut saja sama mister aba-aba tersebut. Yah mau parkir di mana lagi? Itulah, karena bikin usaha sekarang enggak usah mikirin tempat parkir. Dikasih izin kok!

Mau contoh lain? Ah enggak usah ya. Mending coba berhenti dulu membacanya. Maksudnya inget-inget saja sendiri keamburadulan jalan raya kita.

Efek dari hukum relatif ini, timbullah sendatan arus di mana-mana. Bayangkan jalan yang tadinya tiga lajur sekarang menjadi dua atau satu lajur. Maklum terpotong mobil parkir yang lagi makan siang plus termakan bus way. Lampu merah yang harusnya berhenti, malah diterobos terus, tanpa dikejar polisi. Mikrolet, Metro Mini atau apapun lah namanya boleh ngetem/berhenti di mana pun mereka suka. Hari ini diusir, besok ngetem lagi. Karena enggak dilarang-dilarang akhirnya mereka berfikir dibolehkan. Efeknya, lahirlah antrean panjang tak berujung dan terkesan macet abadi.

Akibatnya, stres pengemudi dan penumpang makin tinggi. Sumpah serapah, ngotot-ngototan, sodok kiri, sodok kanan hingga berkelahi di jalan, jadi pemandangan biasa. Gilanya, saat ini sirene ambulans atau pemadam kebakaran pun sudah tak digubris. Yah sulit juga kali ya, mau minggir ke mana bang? Wong maju saja sulit. Yah berdoa saja..

Salah siapakah ini? Polisi, Dep hub, para pedagang mobil, wartawan atau pengendara/pengemudi? Bagaimana kabarnya lalu lintas kita 10 tahun ke depan? Mmmmm.....

Upaya pemerintah daerah khususnya DKI Jakarta, dengan pengadaan Trans Jakarta, menurut saya juga bukan sebuah solusi jitu. Harusnya ada solusi lain yang juga harus dipikirkan secara paralel dengan pembangunan proyek tersebut dan bahkan jauh lebih inti.

Saat ini adalah bagaimana caranya kita menyamakan frame berfikir yang sama dalam berlalu-lintas. Karena sekarang yang terjadi adalah ketidaksamaan frame pengemudi. Akibatnya timbullah apa yang tadi saya bilang hukum relatif atau hukum yang berangkat dari hati masing-masing pengendara/pengemudi.

Sulitkah menyamakan frame ini? Ya pastilah. Tapi kalau enggak dimulai dari sekarang, kapan lagi? Caranya? Yah, bapak-bapak yang berwenang pasti lebih mengerti dari saya. Kalu saya kan berfikirnya sederhana, gunting saja SIM yang menerobos lampu lalu-lintas atau berhenti seenak udelnya.

Cerita di atas itulah yang tiba-tiba menimbulkan rasa rindu saya terhadap gigi lima. Karena gigi terakhir di mobil saya itu sudah jarang terpakai. Baru mau mengoper, saya harus mengerem lagi. Mau tak mau, biaya bensin mobil saya meningkat. Itulah, kenapa akhirnya saya mengganti ‘kaki harian’ dengan yang bertransmisi matik. Minimal saya enggak lagi mikirin gigi lima. Begitulah...